Utusan khusus departemen tertentu yang ditempatkan di kedutaan-kedutaan besar di berbagai negara salah satu syarat mutlaknya adalah fasih berbahasa Inggris. Hanya dengan kemampuan fasih berbahasa Inggris yang memungkinkan yang bersangkutan dapat menjalani tugas diplomatiknya mewakili negaranya c.q departemennya.
Aneh dan sangat ironis kalau sampai ada diplomat seperti seorang atase yang tidak fasih berbahasa Inggris. Bagaimana caranya dia berkomunikasi menjalankan tugasnya kalau bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama tidak dikuasai sepenuhnya? Apalagi kalau harus menghadiri acara-acara resmi yang dihadiri oleh para duta besar dan para atase / diplomat dari berbagai negara.
Alhasil bukan dia membawa misi negaranya , tetapi sebaliknya hanya bikin malu negaranya. Sangat mungkin akan dijadikan bahan gunjingan dan tertawaaan para diplomat dari negara-negara lain.
Indonesia sebagai salah satu “negara aneh tapi nyata” memiliki diplomat-diplomat seperti ini. Jumlahnya bukan cuma satu-dua, tetapi ada ratusan atase dari Indonesia yang mewakili dapartemennya di luar negeri tetapi tidak fasih berbahasa Inggris!
Akibatnya ketika ada acara-acara resmi yang mengundang para diplomat dari berbagai negara di luar negeri, atase-atase Indonesia sering mangkir karena merasa minder tidak bisa berkominukasi dengan lancar. Ratusan atase Indonesia biasanya ketakutan kalau ada acara-acara seperti ini. Saking takutnya sampai mereka tiba-tiba bisa kebetulan sakit beramai-ramai sehingga punya alasan untuk tidak hadir.
Silakan baca beritanya di sini.
Tapi kalau dicari di tempat tinggalnya atau di rumah sakit dijamin mereka itu tidak ada. Karena orang-orang yang “sedang sakit” (tepatnya “sakit karena minder”) itu biasanya memilih jalan-jalan di mall atau di tempat wisata lainnya di negara tersebut. Nanti kalau acara tersebut selesai, mereka akan sembuh dengan sendirinya.
Lebih ironis lagi, sudah tahu begitu keadaannya, keadaan ini tetap saja berlangsung sejak dulu sampai sekarang. Tiada upaya dari masing-masih departemen untuk memperbaiki kondisi seperti ini. Misalnya, dengan menarik kembali semua atasenya yang kemampuanbahasa Inggrisnya kurang, diganti dengan yang lebih mampu.
Kenapa bisa para diplomat kita itu begitu? Bukankah sebelum ditugaskan sebagai atase khusus departemen di duta-duta besar Indonesia di luar negeri mereka wajib mengikuti berbagai test, seperti kefasihan berbahasa Inggris, ilmu diplomasi dan pengetahuan lainnya yang cukup untuk menjalankan tugasnya itu masing-masing?
Jangan-jangan selain kemampuan bahasa Inggrisnya yang memperihatin, mereka juga tidak becus menjalankan tugasnya sebagai seorang atase sebagaimana mestinya? Maka kalau sudah begini, pastilah ini adalah para atase hasil karbitan.
Kemungkinan yang ada sampai bisa lolos sedemikian banyak atase berkualitas rendah yang hanya bikin malu negara seperti ini adalah akibat dari kualitas test penyaringannya sendiri yang buruk, dan/atau adanya unsur KKN dalam menentukan seseorang menjabat sebagai atase itu. Misalnya, hanya karena faktor kekerabatan, teman baik, atau ada unsur uang bicara di sini. Bukan karena faktor kemampuannya.
Kondisi-kondisi yang serba ironis dan memperihatin seperti inilah yang acapkali membuat negara ini semakin dipandang remeh oleh negara-negara lain. Kalau mau dihargai oleh negara lain salah satu faktornya adalah kita harus mampu menujukkan kualitas SDM kita. Bukan malah menugaskan badut-badut sebagai atase di berbagai negara seperti sekarang ini.
No comments:
Post a Comment