Sunday, October 16, 2011

Tumpang tindih orbital dan interaksi orbital

Orbital molekul (MO) tersusun atas orbital atom (AO), (1) kombinasi linear fungsi, dan (2) superposisi secara fisik gelombang elektron, dan (3) campuran secara kimia penyusunnya. Penyusunan orbital molekul dari orbital atom biasanya diatur dengan interaksi antar orbital. Tumpang tindih orbital akan menyebabkan interaksi dan pencampuran orbital, yang menghasilkan pembentukan orbital baru. Di bagian ini, mekanisme yang terlibat dalam pembentukan orbital baru yang berkiatan dengan tumpang tindih orbital dibahas dengan menggunakan metoda orbital molekul Huckel.

a. Tumpang tindih orbital

Dalam metoda Huckel, besarnya integral resonansi |β| sangat menentukan pada mekanisme pembentukan orbital molekul dari orbital atom melalui interferensi gelombang elektron. Alasan detailnya akan didiskusikan di bawah ini. Di sini kita akan mempelajari karakteristik intergral tumpang tindih, karena ada hubungan persamaan (5.27) yakni β sebanding dengan integral tumpang tindih S.
Integral tumpang tindih bergantung pada jenis orbtal atom dan kombinasi orbital atom dan juga bergantung pada jarak antar orbital atom. Kasus khusunya diilustrasikan di Gambar 5.6.
Pada gambar ini, untuk orbital s dan p masing-masing digunakan orbital 1s dan 2p. Untuk menyatakan distribusi ruang masing-masing orbital, digunakan lingkaran untuk orbital s dan pasangan elips digunakan untuk orbital p. Tanda fungsinya diberikan dengan tanda + dan di gambar. Nilai absolut fungsi orbital atom biasanya menurun menuju nol dengan meningkatnya jarak. Namun harus dicatat bahwa distribusi elektron dengan tanda yang sama ada keluar dari lingkaran dan elips.
Gambar 5.6 (a) menunjukkan kebergantungan integral tumpang tindih pada R antara dua orbital p dengan arah paralel, yang monoton turun. Tumpang tindih seperti antara orbital p paralel ini disebut dengan orbital π, dan ikatan kimia yang berasal dari jenis tumpang tindih seperti ini disebut ikatan π. Dalam tumpang tindih jenis π, sumbu yang menghubungkan atom mengandung bidang simpul orbital atom. Dalam orbital π yang dihasilkan dari tumpang tindih jenis π, kebolehjadian menemukan elektron di bidang simpul yang mengandung sumbu ikatan bernilai nol. Gambar 5.6 (b), (c), (d) menunjukkan kebergantungan integral tumpang tindih pada R yang tidak mengandung bidang simpul di sumbu ikatan. Jenis tumpang tindih ini disebut tumpang tindih Δ, dan ikatan kimia yang dihasilkan dari ikatan jenis ini disebut dengan ikatan Δ. Walaupun integral tumpang tindih di jenis σ tidak harus monoton, tumpang tindihnya akan menjadi menurun sampai nol pada jarak R yang semakin besar seperti dalam kasus tumpang tindih jenis π. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan umum yang berkaitan dengan peningkatan tumpang tindih antara orbital yang mendekat satu sama lain, interferensi gelombang elektron menjadi lebih signifikan.
Di Gambar 5.6 (e), (f), integral tumpang tindih ditunjukkan kombinasi orbital dengan dan tanpa bidang simpul sepanjang sumbu ikatan, berbeda denga kasus lain. Walaupun nilai absolut fungsi orbital sama pada pasangan titik yang simetrik terhadap bidang sepanjang sumbu ikatan, tandanya berlawanan untuk orbital yang sama dan sama untuk orbital yang lain. Hal ini berakibat bahwa integral tumpang tindih fungsi orbital ini selalu nol tidak peduli jarak R, sebab kontribusi bagian atas dan bagian bawah saling menghilangkan. Tumpang tindih jenis ini disebut tumpang tindih tanpa kecocokan simetri. Bila tumpang tindih saling menghapus, tanpa terjadi interferensi, dan dengan demikian tidak terbentuk ikatan.
Sebagaimana akan dibahas dengan detail di bawah ini, pembentukan ikatan kimia diatur oleh tumpang tindih orbital. Hal ini disebut dengan prinsip tumpang tindih, dan interaksi antara orbital disebut dengan interksi orbital. Nilai interaksi inter orbital bergantung pada nilai |β| atau S. Berdasarkan prinsip tumpang tindih, inetraksi orbital dilarang untuk β = 0 (S=0) dan diizinkan bila β ≠ 0 (S ≠ 0). Hubungan interaksi orbital dengan tumpang tindih antara orbital-orbital dapat dirangkumkan sebagai berikut.

[Interaksi orbital dan tumpang tindih antara orbital-orbital].

(1) Orbital-orbital yang tidak memiliki kecocokan simetri (S=0) tidak akan berinteraksi satu sama lain.
(2) Orbital-orbital dengan tumpang tindih (S ne; 0) akan berinteraksi satu sama lain.
(3) Nilai interaksi orbital meningkat dengan meningkatnya tumpang tindih (|S|).
(4) Interaksi orbital menjadi kecil sehingga dapat diabaikan untuk jarak yang besar (R besar) dan menjadi besar bila tumpang tindih meningkat untuk jarak yang pendek.
Gambar 5.6 Tumpang tindih (integral tumpang tindih S) antara berbagai orbital atom.

Prinsip interaksi orbital

Marilah kita mempelajari dengan metoda Huckel sederhana mekanisme interaksi orbital antara pasangan orbital atom XA dan XB dengan energi orbital αA dan αB dan integral resonansi mutualnya β, menghasilkan orbital molekul φ = CA XA +CB XB dengan energi orbital ε. Pertama, kita mendapatkan ε dengan menyelesaikan persamaan sekuler (5.24). Dalam kasus ini, HAA = αA, HBB = αB, HAB =HBA = β, dan dengan demikian persamaan sekuler menjadi
Dengan menyatakan suku kiri sebagai f(ε) dan menguraikan determinannya, kita dapatkan persamaan kuadrat dalam ε:
Marilah kita perhatikan dua kasus berikut yang bergantung apakah β sama dengan nol atau tidak.
Untuk β = 0, faktorisasi dapat dengan mudah dilakukan untuk menghasilkan f(ε) = (ε – αA)( ε – αB) = 0, dan dua penyelesaiannya adalah αA dan αB, yang tidak menghasilkan dari nilai energi dan fungsi orbital awalnya. Penyelesaian sederhana ini: A = αA, φA=XA) dan (εB = αB, φB=XB) memenuhi persamaan 5.18, φA = εAφA dan φB = εBφB, yang tidak menghasilkan pencampuran orbital. Jadi untuk β = 0, tidak ada interaksi antar orbital sehingga fungsi orbital tidak berubah dari bentuk asalnya.
Selanjutnya, marilah kita perhatikan variasi energi orbital untuk β ≠ 0. Untuk mudahnya kita dapat menggunakan αAM ≥ αB tanpa mengorbankan keberlakuan umumnya. Perhitungan f(αA) dan f(αB) menghasilkan persamaan
(5.31)
Karena f(ε) adalah persamaan kuadrat dengan bentuk parabola cekung, ada dua penyelesaian εA, εBA ≥ εA) dan kita dapatkan ketidaksamaan berikut.
(5.32)
Sebagaimana akan diverifikasi nanti, energi orbital εa yang lebih tinggi berkaitan dengan tingkat energi orbital anti ikatan dan yang lebih rendah εb berkaitan dengan orbital ikatan.
Hasil-hasil ini dapat dirangkumkan sebagai aturan perubahan energi orbital.

Aturan perubahan energi orbital

Untuk integral resonansi sama dengan nol (β = 0) interaksi orbital menghasilkan energi orbital baru (εa > εb) yang berbeda dari nilai energi awal; energi yang lebih tinggi (εa) lebih tinggi dari energi awalnya αA dan energi yang lebih rendah (εb) lebih rendah dari energi awalnya αB .
Perubahan energi seperti ini diilustrasikan di Gambar 5.7 agar lebih mudah dilihat, A dan B pada jarak yang besar dalam keadaan awal diletakkan pada kedua ujung gambar, sementara keadaan baru untuk A dan B pada jarak pendek diberikan di tengah gambar.
Gambar 5.7 Interaksi orbital.
Jumlah enerrgi penstabilan (αBb) dan energi destabilisasi (αAa) didapatkan sama dan dinyatakan sebagai Δ.
Besaran Δ ini adalah suatu indeks yang mengindikasikan berapa banyak stabilisasi dan destabilisasi terjadi akibat interaksi antar orbital.
Untuk melihat apa yang menentukan besarnya stabilisasi dan destabilisasi Δ, marilah kita mempelajari nilai yang mungkin bagi Δ. Dengan mengingat perjanjian bahwa αA ≥ αB, dan mengenalkan besaran baru t (t ≥ 0) yang didefinisikan sebagai t = (αAB)/2|β|, dan juga mendefinisikan suatu fungsi F(t)=√(t2+1) – t, kita mendapatkan
Fungsi F(t) menurun dari F(0) = 1 di t = 0 secara monoton dengan meningkatnya t mencapai 0 pada limit t → ∞, yang menghasilkan 1 ≥ F(t)>0. Jadi kita mendapatkan ketidaksamaan berikut

(1) Prinsip perbedaan energi

Salah satu faktor adalah perbedaan energi antara αA dan αB. Semakin kecil perbedaan ini, semakin kecil nilai t yang menghasilkan nilai F(t) yang lebih besar dan nilai Δ yang juga lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin kecil perbedaan energi orbital akan menghasilkan inetraksi antara orbital yang lebih besar. Sebaliknya, perbedaan energi antar orbital yang sangat besar semisal antara orbital valensi dan orbital dalam akan menghasilkan interaksi yang kecil yang dapat diabaikan. Efek oleh perbedaan energi |αAαB| pada interaksi orbital disebut dengan prinsip perbedaan energi.

(2) Prinsip tumpang tindih

Faktor lain adalah |β|. Bila nilainya besar, t menjadi kecil dan berakibat nilai F(t) akan besar. Dalam persamaan(5.34), Δ diungkapkan sebagai hasil kali F(t) dan |β|. Jadi, semakin besar |β|, semakin besar nilai Δ. Karena |β| dapat dianggap sebanding dengan |S|, semakin besar tumpang tindih antara orbitalnya, semakin besar pula interaksi antar orbitalnya. Sebaliknya semakin kecil tumpang tindih dan |β|-nya, semakin kecil interaksi orbitalnya. Efek |β| atau |S| pada besarnya interaksi orbital disebut dengan prinsip tumpang tindih.
Selanjutnya, marilah kita perhatikan bentuk orbital baru yang dihasilkan oleh interaksi orbital. Dari persamaan simultan (5.23), persamaan berikut didapatkan untuk CA dan CB.
(5.36)
Dengan mensubstitusikan εa atau i>εb ke dalam persamaan ini dan menggunakan t= (αAB)/2|β|(t ≥= 0) lagi, kita mendapatkan persamaan berikut
(5.39)
Tanda plus dalam ± di persamaan ini menghasilkan (CBb/CAb ) untuk orbital ikatan (φbb), dan tanda minus menghasilkan (CBa/CAa) untuk orbital antiikatan (φaa).
Karena untuk orbital ikatan orbital t +√(t2 +1) ≥ 1 pada sembarang nilai t ≥ 0, kita mendapatkan ketaksamaan berikut
Ketaksamaan (5.38) menunjukkan bahwa dalam orbital ikatan φb = CAbXA+CBbXB, kontribusi CBbXB dari orbital atom yang lebih rendah XB lebih dominan. Karena orbital yang lebih rendah lebih elektronegatif, elektron di orbital ikatan tergeser ke atom yang lebih elektronegatif. Ini menjelaskan polarisasi listrik yang berkaitan dengan pembentukan ikatan kimia.
Persamaan (5.39) menunjukkan btasan fasa (tanda) relatif antara dua komponen orbital. Dengan menggunakan hubungan tanda yang berlawanan antara intergral tumpang tindih S dan integral resonansi β, kita mendapatkan CAbCBbSAB ⇔ −CAbCBbβ > 0 tanda ⇔ mengindikasikan tanda berlawanan satu sama lain.
Di sini, kita harus mencatat bahwa tanda integral tumpang tindih SAB =∫XAXBdr sama dengan tanda XAXB di daerah geometri (daerah tumpang tindih) dengan nilai absolut XAXB menjadi besar. Jadi kita mendapat ketidaksamaan berikut:
(5.40)
Hasil ini menunjukkan bahwa dalam orbital ikatan φb= CAbXA+CBbXB komponen pertamanya CAbXA dan komponen kedua CBbXB memiliki tanda (fasa) yang sama dalam daerah tumpang tindih XA dan XB. Jadi elektron di orbital ikatan menghasilkan interferensi positif yang memperkuat gelombang elektron dengan tanda sama, dan dengan demikian kerapatan elektron di daerah tumpang tindih meningkat. Jelas bahwa penambahan kerapatan elektron antar inti akan menghasilkan gaya ikat pada kedua inti.
Dalam kasus orbital anti ikatan, selalu 1=√(t2+1) – t > 0 untuk t = 0. Jadi, kita menda patkan
Persamaan (5.41) menunjukkan bahwa dalam orbital antiikatan φa= CAaXA+CBaXB, kontribusi dari orbital atom yang lebih tinggi XA lebih dominan dengan menggunakan persamaan (5.42), diskusi yang analog dengan diskusi dalam kasus orbital ikatan menghasilkan ketaksamaan berikut.
Ketaksamaan ini mengindikasi bahwa dalam orbital antiikatan φa= CAaXA+CBaXB, suku pertama CAaXA dan komponen kedua CBaXB, memiliki tanda (fasa) yang berlawanan di daerah tumpang tindih XA dan XB. Jadi, elektron di orbital anti ikatan menghasilkan interferensi negatif yang saling meniadakan gelombang elektron, dan dengan demikian kerapatan elektronnya di daerah tumpang tindih menurun. Hasilnya penurunan kerapatan elektron adalah gaya anti ikatan yang mengakibatkan tolakan antar kedua inti.
Selanjutnya, mari kita perhatikan besarnya pencampuran orbital. Bila salah koefisien nol, besarnya pencampuran minimum. Jadi, kita mengenalkan besaran μ yang menyatakan besarnya pencampuran.
Suku kanan persamaan adalah F(t) yang telah dikenalkan sebelumnya, yang memenuhi 1 ≥ F(t) > 0 untuk t = (αAB)/2|β| ≥ 0. Jadi, μ meningkat dengan penurunan t. jadi besarnya pencampuran orbital diatur oleh prinsip perbedaan energi dan prinsip tumpang tindih, seperti dalam kasus besarnya perubahan energi orbital.
Mekanisme yang menghasilkan orbital baru dari pencampuran dua orbital akibat interaksi orbital dirangkumkan sebagai aturan pencampuran orbital sebagai berikut.
Aturan pencampuran orbital. Bila sepasang orbital XA dan XB (αA ≥ αB) memiliki tumpang tindih mutual (integral resonansinya tidak nol) berinteraksi satu sama lain, sepasang orbital baru φa dan φa (εa ≥ αA ≥ αB > εb) dihasilkan (lihat gambar 5.7). Di antara sepasang orbital baru tadi, orbital ikatan φb dibuat terutama dari orbital yang lebih rendah XB dengan kontribusi kecil orbital yang lebih tinggi XA dengan fasa yang sama. Sebaliknya orbital antiikatan φa dibuat terutama dari orbital yang lebih tinggi XA dengan kontribusi kecil orbital yang lebih rendah XB dengan fasa yang berlawanan. Besarnya variasi dari bentuk komponen utamanya, disebut besarnya pencampuran diatur oleh prinsip perbedaan energi dan prinsip tumpang tindih. Khususnya untuk αA = αB (satu kasus tanpa ada perbedaan energi), pencampuran dua komponen akan berbobot sama.
Dengan merangkumkan aturan-aturan yang disebutkan di atas untuk perubahan energi orbital, aturan pencampuran orbital, prinsip perbedaan energi, dan prinsip tumpang tindih, kita mencatat aturan-aturan dan prinsip ini sebagai prinsip interaksi orbital.

[Prinsip interaksi orbital]

(1) Tanpa interaksi orbital (β = 0), energi dan bentuk orbital tidak berubah.
(2) Dengan interaksi orbital tidak nol (β ≠ 0) (lihat gambar 5.7), energi dan bentuk orbital berubah. Orbital ikatan dibentuk, yang distabilkan daripad a orbital awal yang lebih rendah energinya (secara relatif lebih negatif) XB dari pasangan orbital XA dan XB (αAαB). Di pihak lain, orbital anti ikatan terbentuk, yang didestabilkan dibandingkan orbital awal (yang relatif lebih positif). Besarnya pencampuran sedemikian hingga orbital yang lebih rendah adalah komponen utama orbital ikatan, sementara di orbital anti ikatan komponen utamnya adalah yang lebih tinggi energinya. Bila perbedaan energi kedua orbital nol (αAαB), kedua komponen berbobot sama.
(3) Besarnya perubahan energi orbital dan pencampuran orbital diatur oleh perbedaan energi dan tumpang tindih. Perubahan energi dan pencampuran orbitak akan membesar untuk perbedaan energi yang kecil dan tumpang tindih yang besar, dan sebaliknya menjadi lebih kecil untuk perbedaan energi yang besar dan tumpang tindih yang kecil.
Contoh 5.1 (Dua menjadi satu interaksi orbital)
Dua orbital XA dan XB dari satu spesies memiliki energi αA dan αB (αA > αB) yang ortogonal satu sama lain dan berinteraksi satu dengan orbital lain XC dari spesi lain (yang dinyatakan sebagai partner) yang memiliki energi αC. Energi resonansinya masing-masing βAC dan βBC (βAC ≠ 0, βBC ≠ 0). Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut.
(1) Turunkan ketidaksamaan berikut untuk tiga orbital yang dihasilkan dari interaksi, yang dinyatakan sebagai εa εm, εb.
(2) Orbital-orbital yang berkaitan dengan energi orbital εa εm, εb yang dinyatakan dengan φa φm, φb. Jelaskan fasa relatif komponen orbital-orbital atom XA, XB, XC dalam orbital baru secara kualitatif berdasarkan prinsip interaksi orbital.
(Jawaban)
(1) Karena XA dan XB satu sama lain ortogonal, SAB =0 dan dengan demikian integral resonansinya sama dengan nol (βAB = 0). Dengan memperhatikan kondisi ini, kita dapatkan persamaan sekuler untuk metoda Huckel sederhana.
Dengan menguraikan persamaan ini dan menyatakannya sebagai f(ε),
Persamaan ini adalah fungsi pangkat tiga ε yang mengandung -ε3. Untuk mengetahui daerah yang menghasilkan penyelesaian, kita mencari tanda f(αA) dan f(αB).
Jadi persamaan f(ε) = 0 memiliki tiga penyelesaian real εam, εb, seperti yang dapat dilihat dari gambar berikut. Karena αAB, εa ada di daerah ε>αA,(εm) di daerah αA>ε>αB, dan εb ada di daerah αB. Jadi εaamb&gt ;εb.
(2) Menurut prinsip interaksi orbital (Gambar 5.7), kontribusi dari orbital yang lebih rendah dari orbital yang baru dalam fasa yang sama terhadap orbital lain sepanjang arah panah ke atas, dan kontribusi dari orbital yang lebih tinggi dari orbital baru berfasa berlawanan terhadap orbital lain sepanjang arah panah ke bawah. Sifat khas ini dapat digunakan pada fasa relatif komponen-komponen lain dalam orbital-orbital baru (dari yang paling tinggi φa, φm, φb) yang dihasilkan dari interaksi orbital yang lebih tinggi XA dan yang lebih rendah XB dengan orbital partner XC.
φa : terhadap XC dari partner, baik XA dan XB berinteraksi ke arah panah atas dengan fasa berlawanan menghasilkan orbital yang sangat anti ikatan.
φm : terhadap XC dari partner, XA yang lebih tinggi berinteraksi ke arah bawah dalam fasa yang sama dan XB yang lebih rendah berintreaksi ke arah atas dengan fasa berlawanan, menghasilkan ikatan yang ikatan atau anti ikatan lemah bergantung pada besarnya interaksinya dengan XC.
φb : terhadap XC dari partner, baik XA dan XB berinteraksi ke arah panah bawah dengan fasa yang sama menghasilkan orbital yang sangat ikatan.

No comments:

Post a Comment